Tulisan dibawah ini disalin secara utuh dari brosur pameran kujang yang digelar di balai Pengelolaan Museum Sribaduga Jawa Barat (8-10 Juni 2008),- hak Cipta : Museum Sribaduga
Saving Our Culture Heritage
To Be In Harmony With The Universe
Dalam wacana dan khasanah kebudayaan nusantara . Kujang diakui sebagai senjata tradisional masyarakat Jawa Barat (sunda) dan mempunyai kekuatan magis, beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah kujang berasal dari kata kudihyang dengan akar kata Kudi dan Hyang.
Kudi diambil dari bahasa sunda kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan ghaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk penghalau musuh atau menghindari bahaya/ penyakit. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah, atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904:405-406)
Sedangkan hyang dapat disejajarkan dengan pengertian dewa dalam beberapa metologi, namun bagi masyarakat sunda hyang mempunya arti dan kedudukan diatas dewa, hal ini tercermin didalam ajaran “Dasa Prebakti” yang terdapat dalam naskah Sangyang Siska Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”
Secara umum kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para Dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata sejak dahulu hingga saat ini kujang menempati satu posisi yang sangat khusus dikalangan masyarakat jawa barat (Sunda)
Sebagai lambang atau simbol dengan nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi seperti pemerintah, disamping itu kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Provinsi Jawa Barat.
Di masa lalu kujang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siska Kanda Ng Keresian (1518) Maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyatan bahwa kujang sebagai Peralatan berladang masih dapat kita saksikan pada saat ini pada Masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.
Dengan perkembangan kemajuan teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat sunda, kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, Fungsi dan Makna. Dari sebuah peralatan pertanian, Kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki Karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12, karateristik sebilah kujang memiliki sisi tajam dan nama bagian antara lain: Papatuk/ Congo (ujung Kujang menyerupai panah), Eluk/Silih (Lekukan pada bagian punggung), Tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut), dan Mata (yang ditutupi logam emas dan perak). Selain bentuk karateristik bahan kujang sangat unik cenderung tipis, bahannya bersipat kering, berpori dan banyak mengandung unsure logam alam.
Dalam pantun bogor sebagai mana dituturkan oleh Anis Djatisunda (1996-200), kujang memiliki beragam pungsi dan bentuk. Berdasarkan fungsi kujang terbagi empat antara lain : Kujang pusaka (Lambang keagungan dan pelindung keselamatan), Kujang pekarang (Untuk Berperang), Kujang Pangarak ( Sebagai alat upacara ), dan Kujang pemangkas (sebagai alat berladang). Sedangkan berdasarkan bentuk bilah ada yang disebut Kujang Jago (Menyerupai bentuk ayam jantan), Kujang Ciung (Menyerupai burung ciung), Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul/bango) kujang badak (menyerupai badak), kujang naga (menyerupai binatang mitologi naga), dan kujang bangkong (menyerupai katak). Disamping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan.
Sejalan dengan kemajuan jaman dan melemahnya daya tahan budaya, kebesaran kujang sebagai benda pusaka jati diri masyarakat sunda perlahan-lahan tenggelam karena tidak diperdulikan lagi. Melalui pameran kujang yang digelar di Museum Sri Baduga, diharapkan akan menggugah masyarakat Sunda untuk perduli terhadap tinggalan budaya yang sarat dengan nilai kearifan lokal.
Saving Our Culture Heritage
To Be In Harmony With The Universe
Dalam wacana dan khasanah kebudayaan nusantara . Kujang diakui sebagai senjata tradisional masyarakat Jawa Barat (sunda) dan mempunyai kekuatan magis, beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah kujang berasal dari kata kudihyang dengan akar kata Kudi dan Hyang.
Kudi diambil dari bahasa sunda kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan ghaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk penghalau musuh atau menghindari bahaya/ penyakit. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah, atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904:405-406)
Sedangkan hyang dapat disejajarkan dengan pengertian dewa dalam beberapa metologi, namun bagi masyarakat sunda hyang mempunya arti dan kedudukan diatas dewa, hal ini tercermin didalam ajaran “Dasa Prebakti” yang terdapat dalam naskah Sangyang Siska Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”
Secara umum kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para Dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata sejak dahulu hingga saat ini kujang menempati satu posisi yang sangat khusus dikalangan masyarakat jawa barat (Sunda)
Sebagai lambang atau simbol dengan nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi seperti pemerintah, disamping itu kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Provinsi Jawa Barat.
Di masa lalu kujang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siska Kanda Ng Keresian (1518) Maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyatan bahwa kujang sebagai Peralatan berladang masih dapat kita saksikan pada saat ini pada Masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.
Dengan perkembangan kemajuan teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat sunda, kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, Fungsi dan Makna. Dari sebuah peralatan pertanian, Kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki Karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12, karateristik sebilah kujang memiliki sisi tajam dan nama bagian antara lain: Papatuk/ Congo (ujung Kujang menyerupai panah), Eluk/Silih (Lekukan pada bagian punggung), Tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut), dan Mata (yang ditutupi logam emas dan perak). Selain bentuk karateristik bahan kujang sangat unik cenderung tipis, bahannya bersipat kering, berpori dan banyak mengandung unsure logam alam.
Dalam pantun bogor sebagai mana dituturkan oleh Anis Djatisunda (1996-200), kujang memiliki beragam pungsi dan bentuk. Berdasarkan fungsi kujang terbagi empat antara lain : Kujang pusaka (Lambang keagungan dan pelindung keselamatan), Kujang pekarang (Untuk Berperang), Kujang Pangarak ( Sebagai alat upacara ), dan Kujang pemangkas (sebagai alat berladang). Sedangkan berdasarkan bentuk bilah ada yang disebut Kujang Jago (Menyerupai bentuk ayam jantan), Kujang Ciung (Menyerupai burung ciung), Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul/bango) kujang badak (menyerupai badak), kujang naga (menyerupai binatang mitologi naga), dan kujang bangkong (menyerupai katak). Disamping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan.
Sejalan dengan kemajuan jaman dan melemahnya daya tahan budaya, kebesaran kujang sebagai benda pusaka jati diri masyarakat sunda perlahan-lahan tenggelam karena tidak diperdulikan lagi. Melalui pameran kujang yang digelar di Museum Sri Baduga, diharapkan akan menggugah masyarakat Sunda untuk perduli terhadap tinggalan budaya yang sarat dengan nilai kearifan lokal.
0 komentar:
Posting Komentar